Kamis, 13 Oktober 2011

konsep kata sambut'n.

Seraya memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, saya
menyambut baik penerbitan buku yang berjudul “Ruang Terbuka Hijau
sebagai Unsur Utama Pembentuk Kota Taman” oleh Direktorat Jenderal
Penataan Ruang. Menurut hemat saya, buku bertema ruang terbuka hijau
(RTH) ini hadir pada saat yang tepat, yakni di tengah kecenderungan
berkurangnya luasan RTH di kota-kota besar di Indonesia akibat telah
dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan lainnya, seperti pusat
perbelanjaan dan sarana komersial, kawasan permukiman termasuk
apartemen, maupun infrastruktur jalan. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir
ini, proporsi luasan RTH di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya,
dan Medan, telah berkurang dari 35% awal tahun 1970-an menjadi kurang
dari 10% terhadap luas kota secara keseluruhan. Kondisi ini tentunya masih
di luar standar ideal luasan minimal ruang terbuka hijau pada suatu kota
sebagaimana disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio
De Janeiro (1992) dan ditegaskan kembali di Johannesburg (2002), yakni
minimal 30 % dari total luas kota.
Sementara, berbagai kota besar di dunia, seperti New York, Manchester,
Singapura, Beijing, Shanghai, dan Melbourne, telah menerapkan konsep
’green cities’ dengan meningkatkan proporsi luasan RTH hingga mencapai
lebih 20% dari total luas kota, demi kesehatan, kenyamanan dan kesegaran
warga kotanya. Penerapan konsep tersebut secara konsisten dan didukung
persepsi serta kerjasama semua pemangku kepentingan di kota-kota
tersebut, ternyata telah mampu memberi manfaat ekonomi sebagai akibat
meningkatnya citra kota yang ramah lingkungan, dan ruang visual yang
indah sehingga memiliki ’nilai jual’ tersendiri bagi pengembangan pariwisata.
RTH sebagai unsur utama pembentuk kota yang dirancang dengan baik dan
benar sesuai dengan rencana tata ruang kotanya diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat akan ruang terbuka, meningkatkan
kualitas kehidupan, membentuk identitas komunitas, melindungi kualitas
lingkungan dan meningkatkan nilai ekonomi bangunan-bangunan atau
properti-properti pada lokasi yang berdekatan dengan RTH tersebut. Di
samping itu, RTH juga berfungsi memberikan nilai tambah bagi fungsi
lingkungan, misalnya segi estetika kota, pengendalian pencemaran udara,
pengendalian iklim mikro, serta membentuk “image” suatu kota.
Dalam konteks itu, saya mendorong agar dalam Rancangan Undang-
Undang pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang
Penataan Ruang memuat pengaturan tentang standar minimal bentuk dan
ukuran RTH yang wajib disediakan oleh suatu kota. Melalui pengaturan ini,
pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk mengalokasikan ruang terbuka
hijau secara tegas dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota yang
dijabarkan secara lebih rinci dalam ketentuan tentang aturan intensitas
kegiatan-kegiatan di sekitar RTH tersebut. Selain itu, pengaturan yang tegas
ini juga memberikan peluang bagi masyarakat dan pemangku kepentingan
lainnya untuk turut berperan secara lebih aktif dalam mengendalikan
pencapaian standar minimal tersebut.
Akhirnya, saya berharap bahwa keberadaan buku ini tidak sebatas
memperkaya khasanah pengetahuan kita, namun juga dapat menjadi
sumber inspirasi dan pedoman bagi pemerintah dan pemangku kepentingan
lainnya dalam mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada tim penyusun dan penyunting, terutama kepada
saudara Ning Purnomohadi yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya,
serta kepada seluruh pihak yang telah mendukung penerbitan buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar